Senin, 03 Desember 2007

Deny AJ - King Maker Politik Indonesia

King Maker Politik Indonesia

Sumber: Majalah Men’s Obsession, Edisi April-Mei 2007
23/04/2007 14:09

Denny JA membantu kemenangan puluhan bupati, walikota dan gubernur dari Aceh sampai Papua. Kini, ia menjadi konsultan kemenangan calon gubernur di 12 propinsi. Di tahun 2004, ia ikut membantu kemenangan Presiden SBY. Apa kiat sang King Maker? Siapa calon presiden yang akan dibantunya tahun 2009? Untuk menggali jawabannya, Sahrudi dari Men’s Obsession dan fotografer Rahmat Bernadi, menyambangi base camp Lingkaran Survei Indonesia di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Di kantornya yang bertipe minimalis doktor Comparatibe Politics and Business History dari Ohio State University, Amerika Serikat ini pun akrab menjawab beragam pertanyaan. Berikut petikan wawancaranya:

Anda menjadi konsultan politik pertama di Indonesia, sebuah profesi yang terbilang baru. Bisa Anda jelaskan, apa itu konsultan politik dan apa latar belakangnya sehingga Anda tertarik dengan bidang ini?

Sejak reformasi berlangsung di Indonesia tahun 1998, sistem politik mulai berubah. Kini kepala pemerintahan dipilih langsung. Presiden dipilih langsung. Gubernur dipilih langsung. Bupati, walikota juga dipilih langsung. Metode dan kultur kompetisi berubah. Seseorang menjadi presiden, gubernur, walikota bukan lagi ditentukan partai. Mereka terpilih bukan lagi karena petunjuk pejabat, juga bukan lagi dipilih oleh anggota parlemen. Mereka menjadi pemimpin pemerintahan karena dipilih langsung oleh ratusan ribu bahkan jutaan pemilih.

Politik menjadi tak pasti. Siapa yang menang, siapa yang kalah, susah kita prediksi. Calon partai besar bisa kalah. Presiden yang ingin menjadi presiden lagi seperti Megawati juga bisa kalah. Orang mulai mencari pegangan baru untuk memahami sebab musabab kemenangan dan kekalahan seseorang dalam Pemilu yang dipilih langsung.

Saya melihat ada ruang kosong yang diciptakan oleh era baru ini. Pertama, ilmu untuk membantu banyak pihak memahami pelaku pemilih. Kedua, strategi untuk membantu partai dan calon pemimpin untuk mengubah dukungan pemilih itu. Misalnya, bagaimana membuat calon yang tadinya tidak populer menjadi sangat populer dan kemudian terpilih dalan pemilihan langsung. Publik membutuhkan sebuah jasa baru ini karena situasi politik baru. Pemberi jasa itu disebut konsultan politik.

Profesi baru ini kerjanya memberikan advis bagaimana harus merespon aspirasi dan harapan pemilih sebaik-baiknya berdasarkan hasil riset yang sangat akurat. Kemudian hasil riset itu menjadi basis membuat strategi image building agar sang tokoh semakin selaras dengan harapan dan aspirasi mayoritas pemilih. Profesi ini sudah mapan di Amerika Serikat. Jika kita membaca aneka literatur politik, profesi konsultan politik sudah lahir sebelum Perang Dunia II. Pada tahun 1930-an di California, AS, lahir perusahaan bernama Whitaker and Baxter, yang dianggap cikal bakal konsultan politik modern. Berbeda dengan sebelumnya, Whitaker and Baxter menggunakan riset dan kampanye media untuk membantu para pemimpin terpilih dalam Pemilu.

Lalu saya alihkan profesi ini ke Indonesia. Di era Orde Baru, tentu saja profesi konsultan politik tak berkembang karena tidak ada pemilihan pemimpin yang benar-benar bebas dan dipilih langsung oleh rakyat. Saya datang di saat yang tepat ketika demokrasi mulai bersemi di Indonesia. Saya menuunggangi apa yang disebut seorang filsuf “ the idea that its time has come”. Alhamdulillah jika memang saya dianggap pelopor konsultan politik di Indonesia dan mencapai prestasi gemilang, dengan ikut memenangkan gubernur, walikota, bupati di lima pulau besar dari Aceh sampai Papua.

Apa suka dukanya ketika Anda memperkenalkan profesi baru ini?

Tradisi baru ini memamg selalu membawa resistensi. Saya sudah terlanjutr dikenal sebagai seorang intelektual. Banyak yang berpikir kok intelektual tiba-tiba menjadi partisan secara politik, dengan mendukung seseorang menjadi presiden, atau gubernur atau walikota.

Saat itu sudah tumbuh mitos bahwa mereka yang doktor dan intelektual, harus menengahi semua kepentingan. Tidak boleh ikut campur, tidak boleh partisan. Intelektual adalah empu yang harsu berdiri di atas semua golongan dan berumah di atas angin. Mitos ini hanya separoh benar.

Dunia sudah berubah. Justru karena ia menjadi intelektual, ia harus partisan mendukung ide dan tokoh yang sepaham. Di Amerika Serikat dan dunia demokrasi lainnya, semua partai politik (di Amerika) punya intelektual dan think-thank. Partai Republik punya suhu intelektual seperti Milton Friedman. Partai Demokrat punya guru intelektual seperti Keynes.

Seorang intelektual juga bebas mengembangkan profesi lain, menjadi konsultan hukum, konsultan bisnis atau konsultan politik. Konsultan hukum sudah bisa diterima di sini. Intelektual seperti Adnan Buyung Nasution atau Todung Mulya Lubis juga punya klien kontroversial yang harus dibelanya secara hukum. Setiap warga punya hak asasi untuk dibela secara hukum.

Namun intelektual yang menjadi konsultan politik dipertanyakan integritasnya. Banyak yang sinis. Mereka mendua jangan-jangan saya mengubah hasil riset untuk kepentingan klien. Setiap survei dan quick count yang kita umumkan secara publik, terbukti sangat dekat sekali dengan hasil aslinya yang diumumkan KPUD 2 minggu kemudian. Bahkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang saya pimpin mendapatkan Rekor Indonesia (MURI) selaku lembaga yang membuat survei dan quick count paling akurat dan presisi. Saya pun mendapat penghargaan karena dianggap membawa tradisi baru dalam politik dan dunia akademik Indonesia.

**Anda mengawinkan ilmu pengetahuan dengan politik praktis sehingga menjadi sebuah industru yang komersil, hal ini tentu menimbulkan reaksi...? **

Memang awalnya banyak orang agak shock. Profesi yang saya bawa tak hanya partisan tetapi juga komersil. Berbagai prestasi yang kita buat diiklankan besar-besaran. Banyak yang bertanya, ini gejala apa? Intelektual kok komersil? Prestasi kok diiklankan?

Justru di situ kuncinya. Saya tak ingin lembaga riset hanya bergantung dari donor dan rasa baik hati lembaga asing atau pemerintah atau pengusaha besar. Saya ingin buktikan bahwa lembaga riset yang kredibel bisa juga hidup dari masyarakat. Mau tak mau, suka tak suka, lembaga riset itu harus komersil. Publik membeli jasanya. Namun publik tak akan bersedia membeli jasanya jika kualitas risetnya dipertanyakan. Marketing dan iklan adalah bagian dari upaya menarik perhatian klien.

Awalnya memang saya merasa terisolasi dari kawan kawan yang kecewa melihat saya menjadi komersil dan partisan. Namun lama kelamaan mereka paham bahwa ini profesi baru yang menuntut perilaku seperti itu. Di Indonesia, memang saya baru menjadi satu-satunya konsultan politik berskala nasional. Tapi di Amerika Serikat, organisasi seperti saya ini sudah berjumlah tujuh ribu. Semuanya partisan. Semuanya komersil. Tapi kredibilitasnya tinggi.

Perlahan-lahan apresiasi publik datang. Saya tunjukkan dengan bukti bahwa ilmu-ilmu sosial pun bisa seperti ilmu alam yang mampu memprediksi apa yang belum terjadi. Selama ini hanya ilmu alam yang seperti itu. Ilmu alam memprediksi akan ada gerhana pada pukul sekian. Prediksi itu terjadi.

Saya buktikan, ilmu sosial bisa memprediksi. DI Pilkada Provinsi Banten misalnya, saya buat prediksi yang diiklankan setengah halaman koran dan dipublikasi sebeleum Pilkada. Saya prediksi bahwa dalam Pilkada nanti rangking 1 itu Atut Chosiyah, ranking 2 Ibu Marissa, Pak Triyana ranking 3, lainnya ranking 4. Prediksi itu kemudian terbukti 100%. Publik melihat walapun saya menjadi konsultan politik Ibu Atut ( yang partisan dan komersil), tapi riset kita dapat tetap netral, obyektif dan akurat.

Secara intelektual Anda bisa mempertanggungjawabkan apa yang Anda kerjakan. Tapi pernah dicurigai?

Kecurigaan memang selalu muncul. Quick count kita di Aceh mendeklarasikan bahwa tokoh GAM Irwandi menang Pilkada gubernur dalam satu putaran saja. Semua pihak kaget. Ini menjadi headline media nasional dan internasional. Saya dipanggil Kepala BIN, ditanya soal akurasinya. Banyak pula yang mempertanyakan motif saya. Saya jalan terus. Lalu akurasi riset kita terbukti lagi.

Memang dalam organisasi, kita memisahkan divisi konsultan dan divisi riset. Divisi konsultan harus sangat partisan. Sementara divisi riset harus sangat obyektif. Dua divisi ini dipimpin oleh dua tokoh yang berbeda. Tanggungjawab ke publik dalam menjaga akurasi data sudah kita susun bahkan dimulai dari mekanisme internal organisasi yang saya pimpin itu (LSI).

Apakah ada nilai positif yang didapat oleh masyarakat dari apa yang Anda kembangkan ini?

Survei mampu mengartikulasikan kembali suara 150 juta pemilih yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Setelah mereka didayagunakan dalam Pemilu, umumnya mereka dilupakan. Yang berbicara di publik setelah Pemilu selesai hanya tokoh elit. Namun survei mampu membuat mereka kembali berbicara. Jumlah mereka yang 150 juta pemilih itu cukup diwakili oleh sampel sebanyak 1200 responden yang diambil secara metodik.

Kita menjadi tahu sikap 150 juta pemilih itu terhadap, misalnya kinerja pemerintahan, Pak Harto, bencana alam, hukum Islam, dan lain sebagainya. Kita tak perlu mewawancarai sebanyak 150 juta pemilih itu, tapi cukup melalui survei sistem sampel saja. Survei menjadi instrumen yang penting sekali bagi demokrasi, yang bersandar kepada kedaulatan rakyat. Survei membuat rakyat dapat terus menerus berbicara dan didengar pandangannya, harapannya, kekecewaan dan kemarahannya.

Itu sebabnya saya senang sekali waktu majalah Men’s Obsession memberikan saya penghargaan di bidang Pengembangan Demokrasi karena saya dianggap mempopulerkan tradisi baru politik melalui survei. Di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan beberapa negara demokrasi matang, terbukti bahwa demokrasi itu akan menjadi kokoh jika mengakomodasi kepentingan dan aspirasi rakyat. Suara rakyat itu dapat dilihat melalui survei. Tak ada cara lain. Di koran hanya sebagian orang yang bersuara. Tapi dalam survei nasional, 150 juta pemilih dari Aceh sampai Papua yang berbicara mewakili keseluruhan warga negara.

Anda kerap mengumumkan hasil survei tentang kemenangan seseorang calon dalam sebuah Pilkada sebelum lembaga KPUD mengumumkannya. Meski hasil Anda dan KPUD kemudian sama atau tidak berbeda jauh, toh tetap saja Anda dikritik karena dianggap mendahului, ini bagaimana?

Memang, KPUD yang mempunyai hak untuk mengumumkan pemenang Pilkada di sebuah wilayah. Persoalannya, KPUD mengumumkan pemenang itu mungkin 14 hari setelah Pilkada. Sementara publik di sana ingin tahu siapa kepala daerah mereka yang baru terpilih jika bisa hari itu juga. Saya memberikan layanan publik. Ketidakpastian siapa yang terpilih tak boleh dibiarkan terlalu lama. Perlu ada satu jembatan di sini. Itu sebabnya kita membuat quick count yang mengabarkan pemenang Pilkada di hari itu juga, di hari Pilkada.

Mereka yang dinyatakan kalah awalnya banyak yang memprotes hasil quick count kita. Mereka anggap ini bagian dari kebohongan publik. Latar belakang kita selaku konsultan politik dipersoalkan. Lama-lama, orang melihat bukti. Ternyata hasil resmi KPUD 14 hari kemudian tak berbeda. Perbedaannya hanya di bawah satu persen dan tidak ada perbedaan dalam ranking pemenang Pilkada.

Sebagai profesi jasa, tentu ada unsur komersilnya. Tapai bagaimana jika misalnya ada calon kepala daerah yang butuh jasa Anda namun dia tak memiliki dana yang cukup?

Kita kembangkan juga subsidi silang sebagai bagian corporate social responsibility. Ada juga calon kepala daerah yang bagus tapi tak punya dana. Kita bantu mereka terpilih tanpa perlu mereka membayar. Ada beberapa kasus seperti itu, namun tidak usah saya sebut namanya.

Kita kerjakan juga survei tidak komersial mengenai aneka isu kepentingan publik, seperti survei persepsi publik terhadap 8 tahun reformasi dan sebagainya. Survei ini kita biayai sendiri dengan menyisihkan sebagian keuntungan kita selaku konsultan politik. Jadi kita tak komersil di semua arena. Namun tentu saja kerja utama harus tetap komersial karena kita tidak menerima dana dari pemerintah atau lembaga donor internasional.

Akurasi survei Anda luar biasa, kiatnya apa?

Ini produk riset yang sudah diuji puluhan tahun. Awalnya ia berkembang di Amerika Serikat melalui aneka trial and error. Puluhan tahun sistem riset itu mengalami modifikasi sampai akhirnya menjadi bentuk baku. Saya mengambil oper saja metodologi itu dan mengontrol kualitas pelaksanaannya di lapangan.

Ini memang sebuah revolusi ilmu pengetahuan. Kita bisa memahami dan memprediksi suara begitu banyak orang secara akurat hanya dengan sampel sedikit saja. Di Amerika, misalnya dengan 200 juta populasi bisa diketahui hanya dengan sampel 1200 orang. Di Indonesia, 150 juta pemilih bisa melalui sampel 1000 orang.

Strategi riset ditetapkan secara ketat. Sampel itu dipilih berdasarkan random sampling yang sistematis. Kuesioner atau pertanyaan dibuat dengan kata-kata senetral mungkin. Peneliti lapangan dilatih dan dibuat sedemikian rupa sehingga terhindar dari conflict of interest dan human error. Secara sistematis dilakukan pengecekan di lapangan agar tidak terjadi distorsi yang disengaja ataupun tak disengaja. Kita selalu membuat doktrin bahwa ” data itu adalah dua kalimat syahadat-nya dunua penelitian”. Data tak boleh diganggu. Data itu suci. Akibat mekanisme yang ketat ini, kualitas riset sangat terjaga. Di Tanjung Jabung Timur ( Jambi), selisih quick count kita dengan KPUD hanya 0.05%. Ini tercatat dalam rekor MURI selalu quick count paling akurat yang pernah dibuat di Indonesia. Sebagian teman peneliti menyatakan sangat mungkin ini rekor paling akurat di dunia.

Anda dianggap pionir atau ikon survei dan konsultan politik pertama di Indonesia?

Saya bukan orang pertama yang membuat survei politik di Indonesia. Namun mungkin saya orang pertama yang mempopulerkannya sehingga survei menjadi kebutuhan partai politik, dan menjadi sentral dalam Pilkada.

Pertama kali kita membuat survei politik, hasilnya sama sekali tidak ditoleh orang. Saya masih ingat, waktu itu kita ingin audiensi menyampaikan hasil survei kepada partai politik. Respon mereka tak positif. Bahkan dalam banyak kesempatan permohonan kita dialihkan ke tim litbang atau tak direspon sama sekali. Kini situasi sudah berubah.

Awalnya adalah Partai Golkar yang menjadikan survei LSI sebagai syarat pemilihan calon kepala daerah. Saya ingat di depan pengurus Golkar, saya pernah katakan jika Golkar hanya terikat pada konvensi daerah dalam penentuan calon kepala daerah, itu berarti bunuh diri. Di tingkat nasional, metode konvensi terbukti kalah. Capres Wiranto yang menang dalam konvensi Golkar tersingkir dalam Putaran Pertama. Lha kok metode yang kalah ini dikembangbiakkan di daerah-daerah sebagai metode pemilihan kepala daerah.

Saya ikut mempengaruhi pimpinan Golkar untuk menggunakan metode survei untuk memilih kepala daerah. Mereka yang menang di konvensi Golkar adalah mereka yang populer di tingkat elit belum tentu populer di grass root. Survei adalah metode paling bisa dipercaya untuk tahu siapa yang populer di grass root. Kesempatan untuk menang Pilkada menjadi besar jika sudah dijaring melalui survei.

Sayapun mendapatkan kontrak mengerjakan survei dan riset Golkar di 9 provinsi dan 100 kabupaten sekitar Maret 2005, sebelum era Pilkada dimulai. Ini kontrak survei Pilkada pertama antara partai dan konsultan politik. Kejadian ini pun sudah tercatat dalam rekor MURI.

Awalnya, Golkar menggunakan saya untuk survei hampir di seluruh daerah Pilkada. Tapi akhirnya di Golkar pun muncul semacam friksi. Ada yang mengeluh kok Denny JA terlalu berkuasa. Akhirnya Golkar menggunakan lembaga survei lain sebagai pembanding.

Kini tak hanya Golkar yang memesan survei. Kita juga mengerjakan survei lebih dari 200 wilayah pemilihan. Ini adalah rekor yang memang belum dicapai oleh lembaga survei manapun di Indonesia. Saya cukup terharu ketika teman-teman wartawan memberikan saya Political Enterpreneurship 2006 karena dianggap membawa tradisi baru itu.

Dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2004 lalu, jauh sebelum KPU mengumumkan hasilnya, Anda sudah mengumumkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan menang dan Megawati akan berada di posisi kedua. Ternyata setelah resmi diumumkan KPU, memang begitu hasilnya. Nah, pada Pilpres 2009, siapa calon presiden yang akan Anda bantu?

Pemilihan presiden 2009 ini akan jadi isu yang hangat. Semua partai sangat berkepentingan dengan isu ini. Poltisi, pengusaha bahkan para diplomat pun berkepentingan. Bulat lonjong dan nasib Indonesia d masa depan sangat ditentukan oleh figur presidennya. Dua calon presiden yang berbeda dapat menghasilkan dua masa depan Indonesia yang berbeda pula.

Sudah banyak sekali pihak yang datang ke saya baik dari kalangan domestik maupun internasional (diplomat) mengenai hal ini. Tentu para calon presiden 2009 banyak pula yang sudah mengajak saya bicara. Namun saya tak perlu sebut nama mereka.

Dari hasil survei kita, saya perkirakan Presiden RI 2009 adalah salah satu dari 8 nama. Pertama, mungkin SBY yang sekarang sudah jadi presiden. Kedua, mungkin Jusuf Kalla, yang sekarang ini jadi wakil presiden. Di banyak tempat dalam Pilkada, saya saksikan wakil gubernur bersaing dengan gubernurnya untuk Pilkada berikutnya. Hal yang lumrah saja jika itu juga terjadi di tingkat nasional.

Ketiga, yang mungkin menjadi presiden 2009 adalah Megawati, mantan presiden. Keempat, yang mungkin juga adalah Pak Wiranto. Dia juga bikin partai baru, partai kecil tapi siapa tahu bisa jadi besar.

Kelima, Sutiyoso. Ini tradisi baru politik Indonesia untuk memulai tradisi gubernur yang sukses menjaid presiden. Di Amerika Serikat, hampir semua presiden sejak tahun 1972 datang dari figur gubernur yang berhasil. George Bush itu gubernur Texas, sebelumnya Bill Clintoh itu Gubernur Arkansas, Ronald Reagen Gubernur California, Jimmy Carter Gubernur Georgia. Di Indonesia bisa juga Gubernur DKI yang berhasil jadi presiden. Pak Sutiyoso juga punya peluang untuk itu.

Orang keenam adalah Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR yang juga ikonnya PKS. Ketujuh, Akbar Tanjung. Walaupun ia sudah tak lagi di Partai Golkar, karismanya masih bersinar. Kedelapan, Sutanto, Kapolri yang gagah dan berwibawa.

Anda sudah melakukan survei untuk itu?

Dari hasil survei kita dan analisis tambahan, delapan orang ini yang paling besar peluangnya. Juli 2007, sekitar dua tahun sebelum Pilpres 2009, saya sudah harus putuskan capres yang akan saya bantu agar menjadi presiden Indonesia 2009.

Mengapa dua tahun sebelumnya? Kita sudah punya sistem. Untuk membantu kemenangan seorang calon walikota atau bupati, waktu yang dibutuhkan satu tahun. Untuk membantu kemenangan gubernur butuh waktu setidaknya satu setengah tahun sebelumnya. Jika yang dibantu calon presiden, minimal dua tahun sebelumnya.

Siapa capres yang paling mungkin Anda bantu?

Akan diputuskan pada Juli 2007. Pada akhirnya nanti publik akan tahu siapa yang kita bantu. Insya allah, selama ini yang kita bantu umumnya jadi. Kita punya instrumen untuk memenangkan seorang calon. Instrumen ini sudah diuji berkali-kali, dan disempurnakan berulang-ulang.

Data Lingkaran Survei Indonesia ini menjadi acuan banyak pihak untuk Pilpres 2009?

Saya pun kadang kaget dengan efek dari survei kita, Di berbagai daerah, acapkali data kita menjadi headline dan polemik koran lokal dan membuat geger elit lokal di sana. Para pengusaha, organisasi pemuda, orang partai banyak yang datang dan bertanya, ”Siapa yang paling kuat, karena kita tak mau dukung yang kalah”. Jika di daerah saja data survei itu menjadi perhatian, apalagi tentu di tingkat nasional dalam rangka Pilpres 2009.

Di sejumlah Pilkada, tak sedikit incumbent yang menang. Bagaimana dengan pemilihan presiden?

Untuk kasus Pilkada, memenag mereka yang sedang menjabat, jika ingin terpilih kembali, 65% kecenderungannya menang. Tapi untuk Pemilu Presiden, belum tentu. Kemarin Megawati kan incumbent tetapi kalah. Jadi SBY juga bisa menang bisa kalah di 2009. Itu sangat tergantung dari seberapa berhasil ia memimpin. Juga tentu sangat tergantung dari pesona ketokohan lawan politiknya.

Dari sisi keamanan dan politik, publik memberi nilai plus kepada kepada SBY. Tapi dari sisi ekonomi publik memberi nilai minus. Sementara mayoritas pemilih menganggap ekonomi nilai yang lebih penting. SBY memang harus mulai membuat terobosan besar di bidang kesejahteraan rakyat. Jika tidak, ia akan mengulangi siklus Megawati, yang populer di awal tetapi kemudian anjlok di akhir.

Tidak ada komentar: