Senin, 29 Oktober 2007

Chissano Mengalah demi Demokrasi


Luki Aulia

Tidak mudah menjadi pemimpin di Mozambik, negara yang pernah masuk kategori salah satu negara termiskin di dunia. Apalagi, mengingat bahwa negara itu pernah didera perang saudara selama 16 tahun. Namun, mantan Presiden Joaquim Chissano (68) berhasil menggiring Mozambik meraih perdamaian.

Meski kini Mozambik telah menjadi negara yang stabil, modern, dan demokratis, Chissano tidak keblinger meraup lebih banyak kekuasaan. Chissano dengan legowo memilih mengundurkan diri setelah 18 tahun berkuasa (1986-2004).

Padahal, sebenarnya menurut Konstitusi 1990, ia masih berhak duduk di kursi kepresidenan untuk satu periode lagi atau lima tahun. Alasan Chissano ketika itu, ia ingin memberikan kesempatan demokrasi berkembang.

Berkat upaya dan perannya dalam menciptakan perdamaian, rekonsiliasi, demokrasi yang stabil, dan perkembangan ekonomi di Mozambik, Chissano menerima penghargaan pertama Mo Ibrahim untuk Prestasi Kepemimpinan Afrika, 22 Oktober lalu. Harian The New York Times menyebutkan nilai materi sebesar 5 juta dollar AS akan Chissano terima setiap tahun, selama 10 tahun.

"Saya senang mendapat penghargaan ini dan semoga bisa menjadi contoh bagi para pemimpin lain. Saya akan berusaha berbuat sesuatu untuk rakyat dan negeri saya," kata Chissano saat berada di Kampala, ibu kota Uganda.

Banyak pihak menilai Chissano layak mendapatkan penghargaan itu. Selain karena berbagai kebijakan yang pragmatis, kemampuan negosiasi dan kompromi Chissano juga diakui.

Kelihaian bernegosiasi Chissano terbukti ketika ia berhasil mengakhiri konflik antara pemerintah dan kelompok gerilyawan Renamo yang berlangsung selama 16 tahun. Setelah tercapai kesepakatan damai tahun 1992, untuk pertama kalinya Mozambik menggelar pemilu multipartai tahun 1994.

Bukan hanya itu. Penandatanganan Kesepakatan Lusaka, 7 September 1974, juga menjadi bukti lain. Kesepakatan antara Frelimo dan Pemerintah Portugis itu berisi tentang Kemerdekaan Mozambik.

Atas jasanya mengakhiri penjajahan, Chissano ditunjuk menjadi Perdana Menteri Pemerintahan Transisi tahun 1974 hingga Mozambik berhasil meraih kemerdekaan tanggal 25 Juni 1975. Setelah kemerdekaan Mozambik, Chissano ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri.

Berkat tangan dingin Chissano dalam negosiasi dan diplomasi, nama Mozambik mulai dipandang oleh komunitas internasional. Chissano pula tokoh yang membangun kebijakan luar negeri Mozambik yang nonblok.

Justru dengan kebijakan nonblok itu, Mozambik meraih simpati dari negara-negara Barat sekaligus rezim-rezim Marxist.

Chissano kemudian menjadi presiden kedua Mozambik menggantikan presiden pertama yang juga pejuang kemerdekaan, Samora Machel. Machel tewas dalam kecelakaan pesawat tahun 1986.

Sebagai presiden, Chissano dianggap berhasil melakukan reformasi ekonomi dengan mengubah Marxisme menjadi perekonomian pasar bebas.

Multipartai

Pada tahun 1994, Chissano menang dalam pemilu multipartai pertama kali di Mozambik. Kemudian tahun 1999 ia terpilih kembali.

Meski Pasal 118 Ayat 5 Konstitusi Mozambik tahun 1990 memperbolehkan Chissano kembali mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun 2004, ia memilih untuk mundur dan beraktivitas di kancah internasional.

Puncaknya, tahun 2005 dia ditunjuk Sekretaris Jenderal PBB (kini mantan) Kofi Annan untuk menjadi Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pertemuan Tingkat Tinggi Peninjauan Kembali Pelaksanaan Deklarasi Milenium, September 2005. Ia juga ditunjuk menjadi Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Guinea-Bissau.

Mantan Ketua Uni Afrika itu juga ikut mencarikan solusi perang di Burundi, Kongo, Pantai Gading, dan Sudan.

Saat ini, Chissano tengah dipercaya menjadi Utusan Khusus PBB untuk perundingan perdamaian antara Pemerintah Uganda dan kelompok gerilyawan Lord’s Resistance Army (LRA).

Sebelumnya, tahun 2005 Chissano pernah bekerja sama dengan Pengadilan Kejahatan Internasional di Den Haag, Belanda, yang menangani kejahatan perang yang dilakukan lima komandan LRA.

"Chissano itu pribadi yang unik dan jarang ditemui. Ia bisa berbicara dengan oposisi, menghargai mereka, dan mengajak mereka duduk bersama di meja perundingan. Di situlah letak kekuatan kepemimpinannya. Coba, berapa banyak pemimpin seperti itu?" kata anggota komite penghargaan Mo Ibrahim, Aicha Bah Diallo.

Kerap protes

Berada di tengah-tengah konflik sudah biasa bagi Chissano. Chissano yang lahir di Desa Malehice, Distrik Chibuto, Provinsi Gaza, tanggal 22 Oktober 1939 itu pernah menjadi pemimpin Front Pembebasan Mozambik (Frelimo).

Pertama kali bergabung dengan Frelimo tahun 1962, kemudian tahun 1963 ia menjadi anggota Komite Pusat Frelimo.

Selain konflik, sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Chissano muda sudah aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi kepemudaan. Meski menjadi siswa kulit hitam pertama di Sekolah Licue Salazar dan dipandang sebelah mata, Chissano tak peduli.

Chissano muda yang kerap bicara mengenai politik dan berbagai masalah sosial lain di Mozambik membuat ia dipercaya memimpin berbagai organisasi, antara lain Organisasi Sekolah Tingkat Lanjutan Afrika di Mozambik (NESAM).

Akhir tahun 1960 Chissano kuliah farmasi di Portugal. Pada usia sekitar 20 tahun Chissano makin dipercaya memimpin banyak organisasi. Apalagi, karena tingkat pendidikan Chissano jauh melebihi mayoritas warga kulit hitam Mozambik.

Kemampuan berdebat dan membakar semangat politik publik membuatnya dihormati tokoh-tokoh nasionalis Mozambik. Namun, karena aktivitas politiknya dan vokal melawan penjajahan, dia terpaksa meninggalkan Portugal diam-diam pada tahun 1961 dan pindah ke Paris.

Chissano kemudian kembali ke Mozambik dan bergabung dengan Frelimo. Pada saat itu pria yang mahir berbahasa Changana, Portugis, Kiswahili, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, dan Rusia itu bertemu dengan Marcelina Rafael. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai empat anak.

Sebelum penghargaan Mo Ibrahim, Chissano sudah menerima penghargaan dari berbagai negara, antara lain Mozambik, Angola, Portugal, Afrika Selatan, Brasil, Cabo, Verde, Nikaragua, Perancis, Bulgaria, Madagaskar, Kuba, Benin, Romania, Uganda, Inggris, Irlandia Utara, dan Lesotho.

Mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan berharap penghargaan ini akan dapat menggugah kesadaran para pemimpin Afrika untuk memerhatikan dan memperbaiki persoalan hak asasi manusia dan demokrasi. "Saya berharap dengan penghargaan ini akan muncul tokoh-tokoh seperti Nelson Mandela," ujarnya seperti dikutip di kantor berita Reuters.

Tidak ada komentar: