Sumber: Majalah Swa Sembada, Maret 2007
Sejauh ini jasa survei (riset) termasuk di antara jasa yang paling dibutuhkan para tokoh politik. Terutama sekali untuk memantau reputasi mereka di mata publik. Selain jasa survei, di pentas ini pula berkembang jasa konsultasi pemenangan pemilu, konsultan branding dan public relations (PR). Bahkan, muncul pula bisnis pengerahan massa untuk mendukung atau menolak tokoh politik tertentu, meski untuk yang terakhir ini biasanya dilakukan atas nama kelompok massa tertentu, bukan dengan memakai ”baju” korporat. LSI termasuk salah satu pemain yang paling aktif menggarap bisnis berbau politik ini.
Bisnis memang bisa digali di mana saja, termasuk di arena politik. Khususnya bagi mereka yang bergerak di jasa kehumasan (public relations), personal branding, survei (polling), dan semacamnya. Maklum, kini makin banyak saja tokoh yang ingin tampil dalam rangka memperebutkan suara publik. Entah untuk menjadi kepala daerah, anggota legislatif, ataupun jabatan politik lainnya. Kalau dihitung-hitung, bisnis yang bisa digarap memang cukup menggiurkan. Setidaknya bisa dilihat dari jumlah pemilihan langsung di Tanah Air. Ada pemilihan untuk 500 anggota DPR; 33 gubernur, serta sekitar 460 pemilihan untuk jabatan bupati dan wali kota. ”Situasi politik yang berubah kini membawa pasar baru,” kata Denny J.A., pemilik perusahaan riset politik Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mengakui.
Bila diamati, sejauh ini jasa survei (riset) termasuk di antara jasa yang paling dibutuhkan para tokoh politik. Terutama sekali untuk memantau reputasi mereka di mata publik. Selain jasa survei, di pentas ini pula berkembang jasa konsultasi pemenangan pemilu, konsultan branding dan public relations (PR). Bahkan, muncul pula bisnis pengerahan massa untuk mendukung atau menolak tokoh politik tertentu, meski untuk yang terakhir ini biasanya dilakukan atas nama kelompok massa tertentu, bukan dengan memakai ”baju” korporat.
LSI termasuk salah satu pemain yang paling aktif menggarap bisnis berbau politik ini. Menurut Denny – peraih gelar master dan Ph.D dari Amerika Serikat – LSI memiliki beberapa divisi bisnis. Antara lain Divisi Riset, Divisi Mobilisasi (penggalakan dukungan suara), dan Divisi Public Interest (mengurusi publikasi terkait dengan pencitraan). Sejauh ini dari tiga bisnis LSI, yang paling menonjol adalah bisnis riset politik. Tak heran, iklan LSI di berbagai media cetak umumnya mempromosikan akurasi hasil risetnya untuk berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada).
Denny yang awalnya membantu tim pemenangan pemilihan presiden untuk SBY, mengaku memulai usaha dengan modal sekitar Rp 600 juta (belum termasuk pendanaan operasional survei dan gaji karyawan). Setelah membantu SBY, proyek berikutnya adalah membantu Ismeth Abdullah dalam rangka pemilihan Gubernur Kepulauan Riau. Sukses itu terus berlanjut, sehingga sampai sekarang LSI sudah menangani sekitar 200 klien. Saat ini LSI tengah membantu 12 calon gubernur di tahun 2007 dan 2008 (termasuk untuk Fauzi Bowo di DKI Jakarta). Tak heran, dengan bisnisnya yang basah ini LSI mampu menghidupi 16 karyawan tetapnya, ditambah sekitar 300 karyawan freelance di tiap wilayah pemilihan – yang kalau dijumlah keseluruhannya mencapai ribuan.
Sebenarnya, cukup banyak perusahaan konsultan lain yang berbisnis seperti LSI. Hanya saja, kiprah dan promosi mereka tak sedahsyat lembaga besutan Denny. Menurut informasi yang diperoleh SWA, perusahaan riset kecil banyak yang melayani klien untuk pemilihan wali kota/bupati yang per proyek nilainya berkisar Rp 75-100 juta. Di samping itu, LSI juga lebih populer karena punya jasa riset perkiraan cepat penghitungan hasil pemilihan yang sudah di-branding bernama QuickCount.
Selain lembaga survei, perusahaan yang bergerak di jasa PR juga kecipratan berkah dari euforia politik. Pasalnya, tak sedikit tokoh politik dan mantan petinggi militer yang menggunakan jasa seperti ini ketika mereka terjun ke kancah politik.
Wimar Witoelar, pendiri dan pemilik perusahaan PR PT InterMatrix Indonesia, mengakui bisnis mem-branding tokoh politik ini memang berkembang. Hanya saja, ia mengatakan, perusahaannya saat ini tidak menangani proyek seperti itu. ”Dulu, terutama ketika pergantian rezim Soeharto, InterMatrix pernah mem-PR-kan beberapa tokoh politik, seperti Amien Rais dan Arifin Panigoro,” ujar Wimar. Pada kasus Arifin misalnya, waktu itu InterMatrix ditugaskan mengubah citra Arifin dari tokoh bisnis menjadi tokoh politik. Kontrak kerjanya selama tiga bulan, dengan dana 50 persen lebih tinggi dibandingkan dengan klien umumnya. Saat itu, ia menilai hasilnya cukup sukses. Buktinya, perusahaannya kemudian dipercaya untuk membangun citra Megawati di Jawa Barat.
Menurut beberapa sumber SWA, diam-diam sejumlah perusahaan PR memang menerima klien-klien politik seperti itu. Banyak di antara klien itu yang merupakan pejabat Orde Baru yang ingin kembali ke pentas politik dengan citra baru. Hanya saja, berbeda dari klien korporat, perusahaan PR umumnya menangani klien politik ini tidak secara terang-terangan. Mungkin ini salah satu kiatnya. Maria Wongsonegoro, Presdir IPM Public Relations, mengakui untuk bisa menjadi konsultan personal branding di bidang politik memang butuh keahlian khusus. ”Selain harus punya pengetahuan kehumasan juga mesti memiliki cukup pengetahuan politik,” katanya. ”Penanganan kehumasan korporasi memang tidak serumit pembentukan citra tokoh politik,” ia menambahkan. Meski begitu, nilai proyeknya lumayan juga kan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar