Layanan Hebat untuk Calon Pejabat
Sumber: Warta Ekonomi, 27 Juni 2007
Di tengah ingar-bingar politik Indonesia, Denny menemukan peluang bisnis baru, yakni menjadi konsultan politik. Layanannya all in one: riset, memberi advis, sampai penggalangan massa untuk kampanye. Berkat tangan dinginnya, selama 2004–2006 ia berhasil mendudukkan 18 orang di kursi kepala pemerintahan daerah.
Genderang reformasi yang ditabuh pada 1998 mengubah sistem politik Indonesia. Kompetisi memperebutkan posisi kepala daerah, bahkan kepala negara, kini menjadi lebih terbuka. Mereka dipilih langsung oleh setiap warga negara Indonesia, termasuk Anda, tak lagi melalui mekanisme perwakilan.
Lalu, bagaimana jika Anda ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah, tetapi minim pengalaman politik praktis? Jangan khawatir, kini ada konsultan politik. Sang konsultanlah yang akan mencari tahu keinginan rakyat, memberi advis bagaimana Anda harus merespons harapan pemilih, menyusun strategi meraih kemenangan, sampai mempersiapkan baliho dan menggalang massa untuk melakukan kampanye! Bayar sekali, semua beres.
Adalah Denny Januar Aly, doktor Comparative Politics and Business History dari Ohio State University, AS, yang mampu mencium aroma keuntungan di tengah ketidakpastian politik Indonesia. “Ada peluang bisnis yang diciptakan era baru ini,” kata Denny JA. Ia menerobos kesinisan orang untuk memperkenalkan usaha barunya.
Tiga Layanan
Jika menelusuri literatur, profesi konsultan politik sudah dikenal publik AS bahkan sebelum Perang Dunia II. Pada 1930-an, berdiri perusahaan Whitaker and Baxter, yang cikal bakal konsultan politik modern. Berbasis riset dan kampanye media, perusahaan ini membantu para kandidat untuk memenangi pemilu.
Bahkan, Bill Clinton pun mengakui bantuan konsultan politiknya, Dick Morris, yang membuatnya tetap bertahan di kursi kepresidenan periode kedua meski tersandung kasus Monica Lewinsky. Pun, seminggu sebelum hasil pemilu diumumkan, Gallup Poll lebih dulu mengumumkan prediksi. Hasilnya, akurat.
Denny tertarik untuk membawa hal baru ini ke Indonesia. Beruntung, ia datang di saat yang tepat, kala demokrasi bersemi di Bumi Pertiwi. Denny muncul dengan bekal ilmu voting behavior, sebuah cabang ilmu politik hasil 100 tahun pemilihan langsung di AS. “Sudah lama saya berminat untuk bersentuhan dengan pemilu, riset, dan prediksi,” tutur pria asal Palembang ini.
Mula-mula, Denny beserta M. Qodari dan Sjaiful Mujani, yang sesama alumnus Ohio State University, mendirikan sebuah organisasi nirlaba bernama Lembaga Survei Indonesia, pada Agustus 2003. Lembaga yang dimodali Japan International Cooperation Agency (JICA) ini pernah merilis hasil survei yang dengan cepat dan tepat (quick count), serta mampu memprediksi Partai Golkar bakal memenangi Pemilu 2004, sementara Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden RI.
Selepas pemilihan presiden, yayasan tersebut pecah kongsi. Denny memilih mundur untuk menghindari conflict of interest dan membangun kembali bisnis dengan nama PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2004. “Saya berpikir ini bisa dikembangkan secara komersial, sehingga tidak tergantung pada lembaga donor,” kata pria kelahiran 4 Januari 1963 ini.
Itu memang pilihan bisnis yang jitu karena pasar amat besar. Setidaknya, di Tanah Air, ada pemilihan langsung untuk mencari 500 anggota DPR, 33 gubernur, 460 jabatan bupati dan wali kota, plus satu kursi RI-1. Untuk mencari klien, selain beriklan—ia mengandalkan kepopuleran quick count dan keberhasilan menggolkan SBY menjadi presiden—tim pemasaran LSI juga mengirimkan proposal ke alamat para calon kandidat. “Mereka ini belum punya pengalaman, seperti halnya demokrasi di negeri ini,” kata Denny, mengomentari para calon kliennya.
Dalam satu daerah, LSI hanya bisa mendampingi satu calon. Biasanya Denny memilih tokoh pertama yang datang kepadanya, selain memperhatikan probabilitas kemenangan. Kalau sudah deal, LSI mematok harga ratusan juta hingga miliaran rupiah per tahun. Ada empat hal yang memengaruhi besar-kecilnya biaya, yakni jumlah populasi yang akan dipengaruhi, probabilitas kemenangan, kondisi geografis, dan kemampuan finansial tokoh bersangkutan. “Kalau dana klien terbatas, kami akan mengerem pengeluaran juga,” canda ayah dua anak ini. Dana itu untuk melakukan serangkaian program kerja yang masif.
Pada dasarnya, ada tiga pilar layanan LSI, yaitu memetakan suara, memengaruhi suara, dan menjaga perolehan suara. Untuk pilar pertama, divisi riset bertanggung jawab penuh melakukan perhitungan survei, forum group discussion, dan analisis isi media lokal demi mencari tahu aspirasi rakyat. Divisi ini dituntut netral dan tidak mengenal klien yang sedang diriset. Di sisi lain, divisi mobilisasi massa dituntut bersikap partisan karena harus mampu memengaruhi masyarakat agar memilih klien. Di tangan divisi inilah tergantung keberhasilan layanan pilar kedua dan ketiga.
Hasil riset akan menjadi basis membuat strategi image building agar klien makin selaras dengan aspirasi mayoritas pemilih; dan apabila klien semula tidak populer, bisa dibuat amat populer, sehingga bisa menang dalam pemilihan langsung.
Denny menampik perusahaan public relations (PR) yang juga menangani tokoh politik adalah pesaingnya. Menurut pemegang gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia ini, PR adalah salah satu layanan yang diberikan perusahaannya.
Demo Bayaran Demi hasil yang netral dan objektif, LSI memisahkan divisi riset dan mobilisasi massa. Bahkan, sebisa mungkin pekerjanya tak saling kenal. Tak cuma itu, tempat bekerja pun dibedakan. Divisi riset berkantor di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, sementara divisi mobilisasi massa bermarkas di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Pemisahan ini memungkinkan klien meminta layanan secara “eceran”, seperti untuk perhitungan quick count saja.
Di kantor pusat, LSI hanya memiliki 25 pekerja yang membuat panduan makro. Namun, di setiap provinsi, Denny mengklaim memiliki 400 anak buah. Jika tahun ini LSI menggarap proyek di 12 provinsi, setidaknya mereka punya 5.000 tenaga kerja yang terdiri dari kalangan akademisi (dosen dan mahasiswa), jaringan aktivis, dan politisi lokal. “Termasuk orang-orang yang kami rekrut untuk melakukan demonstrasi,” ungkap penerima penghargaan Political Entrepreneur 2006 versi koran Rakyat Merdeka ini. Mereka mendapatkan gaji bulanan yang dibayar setahun penuh untuk menyelesaikan sebuah program.
Meski enggan menyebut omzetnya, Denny mengaku usahanya sudah mencapai titik impas setelah menangani klien pertama, Ismeth Abdullah, yang kini menjadi Gubernur Kepulauan Riau (Kepri). Dengan modal usaha Rp600 juta dan mematok margin keuntungan cukup besar, Denny bisa mengembangkan bisnis dalam waktu singkat. Namun, ia mengaku sering dicap buruk karena sikapnya yang komersial. “Selama ini orang mencap peneliti selalu penampilannya sederhana, bahkan hidup pas-pasan, tetapi saya justru naik Mercy. Orang banyak yang sinis,” aku mantan direktur eksekutif Universitas Jayabaya, Jakarta, ini. Meski demikian, Denny mengaku tak pernah sakit hati.
Pria yang sering menghabiskan waktu luang dengan menonton film di bioskop ini mengaku pilihan usahanya yang dianggap melawan pakem ini selalu mendatangkan resistensi. Ini karena di Indonesia tumbuh mitos bahwa seorang intelektual harus berpikir lurus, tidak partisan, dan harus mampu menengahi semua kepentingan. Padahal, sebagai konsultan politik, ia harus bersikap profesional dalam membela klien politiknya. “Orang sudah bisa menerima profesi konsultan hukum atau konsultan bisnis, tetapi belum bisa menerima konsultan politik,” keluh penyuka akting Jack Nicholson, Robert de Niro, dan Al Pacino ini.
Tahun lalu, ia berhasil membuat Ratu Atut Chosiyah menjabat sebagai Gubernur Banten dan Barnabas Suebu duduk di kursi Gubernur Papua untuk kali kedua. Kini, Denny sibuk mendampingi Fauzi Bowo dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012. Meski berhasil mendudukkan 18 orang pada posisinya, Denny menyatakan tidak berminat menjadi gubernur. Pemegang sembilan rekor MURI ini justru ingin dikenang sebagai pelopor bisnis konsultasi politik. “Kalau dalam lima tahun saya bisa memenangkan 15 gubernur di Indonesia, ini rekor yang tidak akan terpecahkan. Bagi saya, ini lebih menantang daripada sekadar menjadi gubernur,” pungkas Denny.
ARI WINDYANINGRUM
Boks: Eduard Depari Public relations consultant, staf pengajar di Universitas Pelita Harapan, Jakarta
Denny JA adalah figur yang kontroversial. Di bisnis barunya, dia memakai dua baju: peneliti, yang mengharuskannya bersikap objektif, dan konsultan, yang menuntutnya membela klien mati-matian. Kalau tidak hati-hati, bisa terjadi penyesatan publik. Masyarakat bingung dia berbicara sebagai siapa. Rasanya aneh melihat dia beriklan. Kurang pas secara etika, tetapi saya yakin dia sudah memperhitungkan risiko ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar