Oleh Asrori S. Karni
Sumber : Majalah Gatra No 24 Tahun XIII. 26 April – 2 Mei 2007
Analisis dinamika politik kini terasa hambar bila tidak merujuk hasil survei terbaru. Keputusan partai politik menetapkan calon gubernur, bupati, dan wali kota pun belakangan mulai merujuk hasil jajak pendapat. Di antara lembaga yang secara periodik melansir pantauan persepsi masyarakat adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Temuan terbarunya yang jadi sorotan luas menyinggung merosotnya popularitas presiden sampai di bawah batas psikologis 50%. “Biang” dan arsitek akademik di balik kinerja LSI sejak awal pendiriannya, Agustus 2003, adalah Saiful Mujani. Doktor ilmu politik dengan disertasi terbaik lulusan Ohio State University (OSU) ini semula lebih banyak bergerak di balik layar.
Sedangkan tokoh LSI yang muncul ke permukaan adalah Denny J.A. Ia juga doktor ilmu politik alumnus OSU. Belakangan, Denny mendirikan Lingkaran Survei Indonesia, juga disingkat LSI.
Saiful mengaku, minatnya pada survei perilaku politik amat dipengaruhi tradisi akademik di OSU. Jurusan Ilmu Politik OSU, tempat Saiful mengambil master dan doktor, terdongkrak reputasinya justru karena tradisi studinya yang kuat bersandar pada survei. “Saya tadinya anti-survei karena ini jenis pendekatan positivistik,” katanya.
Artikel yang dimuat dalam jurnal bergengsi dan buku bermutu kebanyakan bertumpu pada survei. Makanya, saat membaca jurnal ilmu politik nomor wahid, American Political Science Review, Saiful minder. “Artikel tentang Indonesia tidak pernah muncul sepanjang republik ini berdiri,” ujarnya.
Di antara sebabnya, kata Saiful, karena kajian Indonesia belum ada yang memakai pendekatan survei. Kebanyakan dengan pendekatan kualitatif, seperti kajian kewilayahan (area studies), antropologi, atau sejarah. “Kiai saya sendiri, Pak Bill Liddle, ahli Indonesia paling terkemuka di OSU, bukan pengguna survei,” tutur Saiful.
“Sayalah yang kemudian mengajak Pak Bill memasuki pendekatan ini,” papar Saiful. Minimnya pendekatan survei dalam kajian politik Indonesia juga karena metode ini tradisi baru. Berkembang di Amerika pada 1960-an. Karena itu, ilmuwan politik generasi awal, yang mengkaji Indonesia tahun 1950-an, seperti George McKahin dan Herbert Feith, tidak memakai survei.
Ketika metode ini berkembang pasca-1960-an, Indonesia masuk rezim otoritarian Orde Baru. Dalam situasi demikian, survei tidak bisa optimal diterapkan. Sehingga ilmuwan yang datang ke Indonesia lebih banyak kalangan antropolog. Dalam jurnal antropologi di Amerika, kajian Indonesia amat menonjol. Banyak antropolog dibesarkan karena mengkaji Indonesia, seperti Clifford Geertz.
Gaya pendekatan kaum antropolog itu akhirnya banyak mempengaruhi corak kajian ilmuwan politik di Indonesia. Harry J. Benda (guru Liddle) dan Ben Anderson, misalnya, juga memakai pendekatan antropologi dan sejarah. Ilmuwan politik asal Indonesia, Deliar Noer, pun memakai pendekatan sejarah.
“Bukan berarti pendekatan kualitatif tidak berguna. Tentu berguna. Tapi sayap kuantitatif tidak bergerak, jadi tidak berimbang,” kata Saiful. “Kajian politik Indonesia berkembang dengan satu sayap. Sayap lainnya patah.” Kenyataan ini menantang Saiful.
Di tengah kegelisahan macam itu, Indonesia mengalami reformasi. “Ini momentum,” katanya. Tradisi survei mulai muncul, dirintis IFES (International Foundation for Election Systems). Tapi, Saiful menilai, survei itu belum terkelola ketat secara akademik.
Pada Pemilu 1999, Saiful menyiapkan proposal survei nasional yang lebih akademik. Ia menggandeng gurunya, Bill Liddle. Dukungan dana diperoleh dari National Science Foundation, lembaga Pemerintah Amerika yang paling bergengsi menopang riset.
Saiful merangkul Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia. Di situ bergabunglah Eep Saefulloh Fatah dan Valina Singka. Survei digelar seminggu setelah Pemilu 1999. Temanya, menggali kecenderungan pemilih Indonesia.
“Itulah survei akademik pertama berskala nasional pasca-reformasi,” ujar Saiful, bangga. Sampelnya 2.488, ditarik dengan multistage random dari 26 provinsi. Mulai Aceh sampai Irian Jaya. Saiful ketagihan. “Menarik juga nih dikembangkan ke tema lain,” katanya.
Maka, pada 2001 dan 2002, Saiful menggelar survei nasional lagi, dengan menggandeng Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta. Temanya, kaitan Islam dan kultur demokrasi. Inilah basis data disertasi doktor Saiful yang kemudian jadi disertasi terbaik. Nama Saiful pun makin diperhitungkan.
Dengan semua karyanya itu, saat masih di Amerika, Saiful sudah dipesan Rizal Mallarangeng untuk bergabung ke Freedom Institite sebagai direktur riset. Temannya yang lain, Denny J.A., mengajak Saiful bikin lembaga survei sendiri.
Terbentuklah Lembaga Survei Indonesia (LSI). Nama lembaga ini usulan Saiful. Dia pula yang jadi arsitek awal perancang desain dan instrumen risetnya. Singkat cerita, LSI melenggang pesat. Hasil survei LSI jadi perbincangan luas.
Awalnya, ikon LSI adalah Denny J.A. selaku direktur eksekutif. Saiful hanya di balik layar. Tapi dialah penanggung jawab akademik dan arsitek utama sejak awal. Setelah Denny keluar dari LSI tahun 2005 karena perbedaan mendefinisikan independensi, Saiful memimpin.
Secara periodik, per tiga bulan sekali, lembaga ini melansir monitoringnya pada opini publik. Kini lembaga pemerintah, partai politik, dan institusi publik lainnya makin banyak yang mendasarkan keputusannya pada survei. Tren riset akademik pun mulai banyak melirik pendekatan survei.
Saiful dilahirkan dari keluarga kiai di Serang, Banten, pada 8 Augustus 1962. Perjalanan studinya zig-zag dan unik. Dari kedokteran, perbandingan agama, tasawuf, filsafat, sosiologi, lalu ke ilmu politik terapan. Ia mengaku sebagai tipe orang yang selalu bergairah dan total mendalami bidang studi baru yang ia minati.
Saat memutuskan kuliah di IAIN Jakarta, Saiful Mujani justru dimarahi ayahnya. Padahal, sang ayah, KH Syamsuddin, adalah tokoh agama di Serang dan pengurus ormas Islam setempat, Mathlaul Anwar. Sudah lama orangtuanya mengarahkan Saiful kuliah bidang umum. Mau jadi dokter, ekonom, atau insinyur.
Karena itu, awalnya Saiful kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta. Tapi hanya bertahan dua tahun. Saiful meminati kajian perbandingan agama. Pangkalnya hanya karena pacarnya beragama Kristen. Masuklah ia ke IAIN Jakarta, mendalami tasawuf dan filsafat.
Di luar kampus, Saiful mendalami ilmu-ilmu sosial, hingga jadi fans berat marxisme. Saat mendapat beasiswa Fullbright ke Amerika Serikat, ia memilih sosiologi agama. Maunya berguru pada Peter L. Berger di Universitas Boston. Tapi, belum sampai berangkat, Saiful pindah ke ilmu politik di Ohio State University.
Alasannya sepele: karena provokasi seniornya, Bahtiar Effendy, yang baru lulus doktor ilmu politik di Ohio. Kampus ini didominasi para profesor berorientasi survei. Saiful pun terpengaruh dan belajar keras mendalami. Kini Saiful justru berada di garda depan menggalakkan pendekatan survei dalam studi politik, yang tadinya ia benci.
——————————-
Saiful Mujani, PhD
Lahir: Serang, Banten, 8 Augustus 1962
Pendidikan: – PhD Political Science, Ohio State University, 2003 – MA Political Science, Ohio State University, 1998 – BA Islamic Studies, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, 1989
Pekerjaan: – Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia – Peneliti Utama Freedom Institute – Anggota Dewan Redaksi Media Group – Dosen Politik Islam Pascasarjana UIN Jakarta
Penghargaan: – Penulis disertasi terbaik bidang ilmu politik di Ohio State University, 2003, berjudul “Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia”. – Sarjana terbaik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar