Maria Hartiningsih
Sajida Khan akhirnya menyerah. Kanker menghentikan perjuangan feminis ekologi asal Durban, Afrika Selatan, itu pada tanggal 15 Juli tahun 2007. Ia meninggal pada usia 55 tahun. Sajida adalah simbol perlawanan menolak dua perkara besar yang bermuara pada diskriminasi.
Sampai akhir hayatnya Sajida tak berhenti melawan pendekatan elite kapitalis dunia terhadap perubahan iklim: perdagangan karbon. Perjuangan itu adalah kelanjutan dari perjuangan yang tak pernah berakhir meski rezimnya secara resmi ditundukkan pada tahun 1990, yakni apartheid.
Sajida Khan bermukim di kompleks perumahan kulit berwarna, sebelum para birokrat apartheid tahun 1980 menetapkan wilayah di atasnya, Bisasar Road, sebagai tempat buangan limbah di dalam tanah (landfill).
Kanker menggerogotinya tahun 1996. Keponakan Sajida yang tinggal bersamanya meninggal karena leukemia pada usia 11 tahun. Pada tujuh dari 10 rumah di blok permukimannya di Clare Estate, Durban, ditemukan kasus tumor.
Laporan DSW 1996 menemukan unsur kimia Cd (kadmium) sudah tiga kali lebih besar dari batas aman dan Pb (timbal) sudah 10-40 kali melampaui ambang batas. Kedua unsur kimia itu bersifat karsinogen.
Seperti dikutip dari The Sky Is Not The Limit (2007), Bank Dunia dengan inisiatif Prototype Carbon Fund (PCF) pada tahun 2002 sangat antusias mendanai ekstraksi gas dari landfill itu karena mengendus keuntungan yang lumayan. Proyek itu akan mengekstraksi gas metana (CH4)—salah satu komponen gas rumah kaca (GRK)—dari dekomposisi limbah dan menggunakannya sebagai pembangkit listrik sampai 45 megawatt (MW) untuk pasokan nasional.
Reduksi metana dari tempat buangan itu akan menjadi kredit reduksi emisi (ER) yang dijual PCF ke negara lain atau perusahaan untuk mengompensasi komitmen reduksi karbon dalam Protokol Kyoto.
Bagi Bank Dunia, mekanisme itu adalah win-win solution. Namun sebaliknya bagi Sajida. Penderitaan warga adalah tumbal demi pengurangan emisi di negara industri. "Ini adalah bentuk lain dari kolonialisme," ujarnya.
Sajida memenangi gugatannya terhadap Bank Dunia, tetapi pemerintah kota mengingkari janjinya dengan menutup tempat itu dengan perpanjangan izin 20 tahun bagi DSW.
The Washington Post pada bulan Maret 2005 menulis, perjuangan Sajida menghadapi tantangan baru karena protokol itu mendukung negara industri melakukan investasi proyek-proyek "ramah lingkungan" di negara berkembang. Landfill itu akan menjadi mesin pencetak uang bagi Afrika Selatan, sekaligus membantu negara-negara industri memenuhi kewajibannya dalam protokol.
Bisnis emisi
Bisnis karbon mendominasi pembahasan mengenai perubahan iklim sejak Protokol Kyoto diadopsi dalam Konferensi Para Pihak (COP)-3 di Kyoto, Jepang, 11 Desember 1997.
Protokol itu menentukan target dan jadwal penurunan emisi GRK bagi negara Annex-1, yakni negara-negara industri dan negara-negara ekonomi transisi, seperti Rusia, sekitar 5,2 persen dari tingkat emisi bersama tahun 1990. Target ini harus dicapai pada periode komitmen pertama, tahun 2018-2012.
"Induk" dari Protokol Kyoto adalah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dihasilkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tujuannya menstabilkan emisi GRK di atmosfer agar tak membahayakan sistem iklim.
Isu perubahan iklim saat itu sebenarnya banyak menyentuh perubahan pola konsumsi dan produksi sehingga membuat Presiden Bush (senior) berang. Para perunding di KTT Bumi tidak menerjemahkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam suatu rumusan target yang mengikat secara hukum yang harus dicapai negara industri, yang secara historis merupakan kontributor terbesar emisi GRK di atmosfer. AS menolaknya.
AS akhirnya meratifikasi UNFCCC, tetapi menolak Protokol Kyoto. Namun ada perkembangan menarik. Tahun 1991 Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mendirikan departemen yang mengurus perdagangan GRK. UNCTAD juga mendirikan Asosiasi Perdagangan Emisi Internasional (IETA), kelompok lobi korporasi yang mempromosikan perdagangan emisi.
Bersikap keras
Beberapa organisasi nonpemerintah di tingkat internasional, yang dalam KTT Bumi bersikap keras terhadap korporasi, secara perlahan-lahan mulai menjalin hubungan yang mesra dengan mereka
Pada 1 Januari 1995, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menggantikan Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT). WTO adalah organisasi multilateral yang membuat peraturan global tentang perdagangan internasional.
Protokol Kyoto mempunyai tiga mekanisme fleksibel bagi negara-negara Annex-1 untuk mengurangi target GRK kolektifnya pada tahun 2012, yakni Perdagangan Emisi, Joint Implementation (JI), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM).
Ketiganya menggunakan pendekatan pasar dan berpotensi meninggalkan keadilan dalam seluruh tata hubungan, termasuk meninggalkan hak-hak mereka yang paling rentan. Perubahan pola konsumsi dan produksi yang menjadi inti masalah dalam isu perubahan iklim semakin disempitkan menjadi perdagangan emisi dan teknologi.
Mekanisme itu menjadi pembahasan utama setelah COP di Kyoto. "Negara berkembang pun dalam perundingan pasca-2012 berbicara tentang perluasan pasar emisi," ujar Hira Jhamtani dari Bali Collaboration of Climate Change. "Pasar yang dijadikan solusi, bukan pembangunan berkelanjutan."
Lembaga keuangan multilateral mendukung mekanisme perdagangan emisi dengan berbagai inisiatif pendanaan. Itu bisa berarti mengesahkan jual-beli pencemaran udara.
"Kalau perusahaan saya yang menghasilkan emisi 700 ton per tahun dari target emisi 1.000 ton, saya bisa menjual sisanya ke pasar emisi. Sebaliknya, kalau perusahaan saya menghasilkan 1.300 ton emisi, saya bisa mengompensasi kelebihan 300 ton emisi dengan membeli emisi dari perusahaan lain. Jadi, apa ada penurunan emisi?" katanya.
Pada perundingan COP-13 di Bali, Hira menengarai kecenderungan munculnya Comprehensive Multilateral Framework untuk pasca-2012 dengan perluasan pasar emisi dalam COP di Copenhagen tahun 2009.
Artinya, substansi Protokol Kyoto semakin ditinggalkan. Perjuangan Sajida akan berlanjut dalam sejarah panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar