Senin, 24 Maret 2008

Kepuasan dari Ayat-ayat Cinta

Salman Aristo
Kepuasan dari Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi

Telepon gengang Salman Aristo berdering. Dari seberang, terdengar suara sutradara film Hanung Bramantyo. Sejatinya, bagi Salman dan Hanung, telpon-telponan bukan hal yang tak lazim. Keduanya memang sudah saling kenal, kerap bekerja sama dalam menggarap film. Hanung menjadi sutradara, Salman menulis skenario. Film Brownies, salah satu di antaranya.

Tapi, telepon dari Hanung kali ini membuat Salman sempat tersentak. Sutradara film itu mengajaknya untuk menuliskan skenario film Ayat-ayat Cinta yang diadaptasi dari novel laris karya Habiburrahman El Shirazy terbitan Republika dengan judul yang sama. Bagi Salman, ini tantangan sekaligus peluang. Tapi, saat bersamaan, ia mengakui kala itu belum membaca novel dengan latar belakang kota Mesir dan Timur Tengah tersebut.

''Saya tidak pernah membayangkan ditawari,'' ucap pemenang Kompetisi Pengembangan Naskah untuk kategori Feature Film di Jiffest 2006 itu. Tapi, ia merasa beruntung. Istrinya, Ginatri S Noer, sudah membaca novel itu. Penjelasan Ginatri ihwal cerita dalam novel ini mengesankan hati Salman. Semangatnya kian besar menggarap skenario film ini. Ia pun membacanya. Benar. ''Kami melihat, ini novel yang berhasil membawa pesan. Sayang sekali kalau dibiarkan,'' kata pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976 itu.

Pasangan muda ini lalu menulis skenario film, mengadaptasi dari novel Ayat-ayat Cinta. Ginatri banyak membantu membuat story line. Tak sekadar membaca novel laris itu, keduanya pun melakukan riset, baik yang berkaitan dengan masalah fikih maupun tentang keislaman. Ini dilakukan untuk memperkaya wawasan dalam penulisan skenario.

Di balik itu, diam-diam ada keinginan lain yang tersimpan di lubuk hati Salman. Ia ingin berkarya sebaik mungkin dan mengajak orang-orang yang selama ini segan ke bioskop untuk mau menyisihkan waktu, datang di gedung pertunjukan film.

Adaptasi
Mengadaptasi sebuah novel ke dalam skenario film, tentu bukan perkara sepele. Apalagi bila novel yang akan diadaptasi itu tergolong laris, sudah dibaca banyak orang. Salman menyadari itu. ''Jelas ada beban,'' ucapnya.

Beban itu, dirasakannya bukan dalam soal teknis. Tapi, ''Apakah skenario punya sistematika yang sama dengan pemahaman orang yang sudah membaca novelnya?''

Bagaimanapun, media tontonan tidak sama persis dengan media baca. Salman 'terpaksa menyimpang' dari novel yang diadaptasinya itu. Tokoh Fahri, misalnya. Di dalam novel, pria ini dikesankan sebagai sosok yang cerdas dan teladan bagi teman-temannya, tapi dalam film menjadi terkesan sebaliknya: Lugu, sehingga dinasihati temannya soal ta'aruf.

Salman tidak sekadar mengubah cerita. Nomine The Best Adaptation Screeplay of Jomblo dalam Festival Film Indonesia 2006 ini punya alasan untuk itu. Dia bilang, ''Kalau seperti novel, akan membuat penonton berjarak.'' Syukurlah, menurut mantan redaktur pelaksana majalah Fourfour Two Indonesia ini, Habiburrahman sang penulis cerita bisa memahaminya.

Toh, proses penulisan tidak semulus jalan tol Jagorawi. Berulang kali Salman menulis ulang draf skenario film ini. Setidaknya, 12 kali ia menulis draf skenario hingga sampai dinyatakan oke. Tapi, bagi lulusan Jurusan Ilmu Jurnalistik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini, penulisan ulang draf skenario sudah menjadi sebuah kewajaran. ''Saya percaya, film yang bagus adalah yang ditulis ulang,'' tutur mantan wartawan Trax Magazine ini.

Laskar Pelangi
Tak lama merampungkan skenario Ayat-ayat Cinta, tawaran lain menghampirinya. Ia diminta menulis skenario film Laskar Pelangi, mengadaptasi novel laris karya Andrea Hirata. Berbeda dengan Ayat-ayat Cinta, ia mengaku sudah membaca novel Laskar Pelangi sebelum tawaran menulis skenario menghampirinya. Dari bacaan itu ia mengaku sempat terbetik dalam hati, ''Wah, ini bagus banget dibuat film.''

Keinginan itu lalu ia beritahukan ke sutradara film Riri Reza melalui pesan pendek (SMS). Tak ia nyana, tiba-tiba telepon genggamnya kembali berdering. Dari seberang, suara Mira Lesmana, produser Miles Film, membuka pembicaraan dengan basa-basi. ''Dia tanya jadwal (saya),'' ucap Salman.

Pembicaraan pun berlangsung. Salman diajak bekerja sama memproduksi film dengan mengadaptasi novel Laskar Pelangi. Salman setuju. Bersama Andrea Hirata, mereka langsung ke Belitung, melakukan observasi ke lokasi setting cerita dalam novel tersebut. Mereka menemui tokoh-tokoh dalam novel. Di perjalanan, diam-diam dia menggali informasi lebih banyak dari sang penulis. ''Dibandingkan dengan Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi lebih mudah. Ayat-ayat Cinta lebih rumit karena kompleksitas ceritanya harus direnungkan. Laskar Pelangi cenderung lebih linier,'' ucapnya.

Kini, penulisan skenario Laskar Pelangi tengah dalam proses akhir. Sebagaimana Ayat-ayat Cinta yang tengah diputar di bioskop-bioskop, Salman juga berharap Laskar Pelangi versi layar lebar mendapat sambutan dari penonton film di Indonesia. Film Ayat-ayat Cinta, menurut dia, telah memberi kepuasaan batin.

Mengutip ucapan penonton film Ayat-ayat Cinta yang pernah ia dengar, pria yang mengawali kariernya sebagai penulis skenario melalui film Brownies (2004) ini bilang, ''Dulu gue diajak ortu ke bioskop. Kini gue ajak ibu gue ke bioskop.'' Agaknya, ajakan penulis skenario film Alexandria (2005) itu untuk menarik orang-orang yang segan ke bioskop mulai menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.bur

( )

Tidak ada komentar: