Dunia ilmu-ilmu sosial di Indonesia, khususnya antropologi, kembali kehilangan salah seorang tokoh ilmuwan terbaiknya. Profesor Parsudi Suparlan, ahli antropologi dari Universitas Indonesia, meninggal dunia hari Kamis, 22 November 2007, di rumahnya, Perumahan Dosen UI Ciputat, dalam usia 69 tahun. Beliau adalah seorang anthropologist by training.
Dikatakan demikian karena beliau menempuh pendidikan mulai dari jenjang sarjana, MA, hingga PhD semuanya dalam antropologi.
Kariernya sebagai pengajar di Departemen Antropologi Fakultas Sastra UI (waktu itu Departemen Antropologi belum pindah ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI) dimulai sejak lulus sarjana antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964.
Profesor Koentjaraningrat memperkenalkan Parsudi Suparlan kepada Profesor Edward M Bruner, antropolog dari University of Illinois, Urbana Campaign, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian mengenai hubungan antarsuku bangsa di Bandung dan Medan pada tahun 1966-1968. Perkenalan itu berlanjut dengan rekomendasi Profesor Koentjaraningrat yang mengirim Parsudi ke Amerika Serikat untuk menempuh jenjang MA dan PhD dalam antropologi di bawah bimbingan Profesor Bruner. Beliau lulus MA (1972) dan PhD (1976). Semenjak itu Dr Parsudi Suparlan kembali ke Tanah Air dan kembali mengajar di UI hingga akhir hayatnya. Beliau mencapai gelar guru besar antropologi Universitas Indonesia tahun 1998.
Generasi kedua
Profesor Parsudi Suparlan adalah salah satu antropolog generasi kedua di Indonesia, khususnya di Universitas Indonesia. Ahli antropologi di UI yang segenerasi dengan beliau adalah Profesor S Boedhisantoso, Profesor James Danandjaja, Profesor M Junus Melalatoa (alm), dan Profesor Nico S Kalangie.
Di bawah bimbingan Profesor Koentjaraningrat, tokoh-tokoh inilah sebenarnya yang pertama kali mengembangkan antropologi di Indonesia hingga wujudnya yang kita kenal sekarang. Apabila Koentjaraningrat dikenal sebagai pendiri, perintis, dan pembuka jalan bagi antropologi di Indonesia yang kini sudah berusia 50 tahun, maka Parsudi Suparlan, menurut pendapat saya, adalah pemberi corak dan pengisi kualitas antropologi di Indonesia, yang diawali di Departemen Antropologi UI.
Kekuatan analisis
Secara pribadi saya beruntung menjadi salah satu mahasiswa jenjang sarjana yang pertama memperoleh kuliah dari beliau tahun 1976/1977, segera setelah beliau kembali dari Amerika Serikat. Dengan gaya yang khas dan cara-cara kuliah yang ketat dan kerap kali menegangkan, beliau menanamkan sikap belajar yang keras dan konsisten. Nyata benar warna teori yang kuat dalam setiap kuliah dan diskusi yang beliau asuh. Banyak tulisan yang harus dipelajari dan dikuasai setiap minggu dan tidak ada maaf bagi yang tidak siap diskusi di kelas.
Kami yang tadinya ber-12 di kelas tersebut hanya tinggal berempat karena yang lain tidak tahan, kemudian mengundurkan diri. Banyak pelajaran yang saya petik dari proses pembelajaran semacam itu. Misalnya, saya sangat tertolong oleh disiplin belajar seperti itu ketika saya sendiri melanjutkan belajar antropologi di Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.
Pentingnya model (teori), ketajaman analisis, dan ketepatan metodologi yang selalu menjadi aura dalam kuliah-kuliah beliau menjadikan antropologi tampak sebagai sosok disiplin yang kuat, tidak hanya sekadar mengurai- uraikan data. Berkali-kali beliau menekankan pentingnya pemahaman yang kuat mengenai konsep kebudayaan dan struktur sosial. Jadi, barangkali tidak berlebihan kalau saya menyebut beliau sebagai salah satu tokoh antropologi Indonesia, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori.
Hal ini tidak terlepas dari perjuangan beliau turut membangun antropologi di Indonesia yang dimulai dari membangun kuliah-kuliah pengkhususan, seperti hubungan antarsuku bangsa, antropologi agama, antropologi perkotaan, dan antropologi politik pada jenjang sarjana, magister hingga doktor antropologi.
Beliau menyadari benar bahwa kelemahan pembangunan nasional Indonesia antara lain karena manusia sebagai subyek pembangunan masih belum diperhatikan. Pembangunan masih bercorak obyektif, yang artinya manusia semata-mata dipandang sebagai penerima dan pelaksana program.
Kalau kita menyaksikan terjadinya perubahan penting dalam pendekatan ilmiah sosial dalam penelitian-penelitian di berbagai lembaga penelitian di luar antropologi, hal ini juga tidak terlepas dari upaya beliau. Kita dapat menyebut berbagai kajian sosial budaya di lembaga-lembaga penelitian departemen agama, departemen sosial, kepolisian, dan belum terhitung kajian-kajian di perguruan tinggi seperti Institut Agama Islam Negeri, dan Kajian Wilayah Amerika. Buku-buku ataupun artikel-artikelnya yang banyak jumlahnya tersebar luas di Indonesia turut memberi warna dan pengaruh dengan berbagai intensitasnya pada berbagai kajian sosial budaya di Indonesia masa kini.
Menggambarkan sosok Profesor Parsudi Suparlan, seumpama kita belajar silat di suatu perguruan silat seperti dalam film Drunken Master. Latihan yang luar biasa berat dengan suhu (guru silat) yang kusen dan disegani di dunia kangouw (dunia persilatan), tetapi nyentrik dan aneh. Di balik gerakan-gerakan silat yang aneh itu terkandung hikmah yang tinggi nilainya, yang seharusnya kita mau mempelajari yang baik-baik saja darinya.
Dalam berbagai bukunya, Profesor Koentjaraningrat sering menyebut para tokoh antropologi dunia sebagai pendekar antropologi. Kini seorang lagi pendekar antropologi Indonesia telah pergi meninggalkan kita. Rasanya semakin langka ilmuwan sosial yang dengan konsisten tetap setia mengabdi kepada ilmu pengetahuan seperti beliau. Namun, jejak langkah, semangat, dan pemikirannya harus tetap kita pelihara bagi memajukan ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi di Indonesia.
Selamat jalan profesor.
Achmad Fedyani Saifuddin Pengajar pada Departemen Antropologi FISIP-UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar