Rabu, 16 Juli 2008

Anwar Nasution


Jumat, 06 Juni 2008
Aliran Dana BI: Bermula dari BPK, Mengapa Anwar Nasution Tidak Disentuh?

ALIRAN dana Bank Indonesia Rp100 miliar berawal dari laporan BPK yang ditandatangani oleh Ketua BPK Anwar Nasution. Laporan dengan nomor 115/S/I-IV/11/2006 itu dikirim ke KPK pada 14 November 2006. Yang dia laporkan adalah kasus di mana dirinya menjadi bagian sebagai Deputi Senior Gubernur BI.
Dalam laporan itu disebutkan, melalui rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 diputuskan meminta YPPI menyediakan dana sebesar Rp100 miliar untuk dua keperluan.

Keperluan pertama, pencairan dana Rp 68,5 miliar untuk membantu proses hukum kasus Bantuan Lilkuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan lima mantan dewan gubernur dan mantan direksi BI, juga melalui sejumlah cek berdasarkan keputusan rapat Dewan Gubernur BI pada 22 Juli 2003.

Dana bantuan hukum itu diberikan kepada Soedrajad Djiwandono (mantan Gubernur BI), Iwan R Prawiranata (mantan Deputi Gubernur BI), Heru Soepratomo (mantan Deputi Gubernur BI), Hendrobudiyanto (mantan direksi BI), dan Paul Sutopo (mantan direksi BI).
Mereka terjerat hukum dalam kasus BLBI, kredit ekspor, dan kasus lainnya sehubungan dengan penanganan krisis ekonomi 1997-1998.

Kedua, dana sebesar Rp31,5 miliar diserahkan kepada Komisi IX DPR periode 1999-2004 untuk pembahasan dan diseminasi sejumlah UU tentang BI. Hasil audit menyebutkan dana untuk Komisi IX DPR periode 1999-2004 dicairkan melalui tujuh cek yang dikeluarkan bertahap mulai 30 Juni hingga 8 Desember 2003.
Pencairan melalui tim sosialisasi yang terdiri atas tiga pejabat BI, yakni Oey Hoey Tiong yang saat itu menjabat deputi direktur direktorat hukum, Rusli Simanjuntak (kepala biro gubernur), dan Asnar Ashari.

Cek dari YPPI No EB 033262 senilai Rp2 miliar diterima Oey Hoey Tiong dan Asnar Ashari pada 27 Juni 2003 dan dicairkan pada 30 Juni 2003.
Cek No EB 033263 senilai Rp5 miliar diterima Oey Hoey Tiong dan Asnar Ashari pada 2 Juli 2003 dan dicairkan pada hari yang sama.

Cek No EB 033264 senilai Rp0,5 miliar diterima Oey Hoey Tiong dan Asnar Ashari pada 2 Juli 2003 juga dicairkan pada hari itu juga.
Selanjutnya, cek No EB 033270 senilai Rp7,5 miliar diterima Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari 23 Juli 2003 langsung dicairkan pada hari yang sama.
Setelah itu cek No EB 033570 senilai Rp3 miliar dan cek No EB 033508 senilai Rp7,5 miliar diterima Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari pada 17 September 2003 dan dicairkan pada 18 September 2003.

Sesudah itu, cek No EB 033515 senilai Rp6 miliar diterima Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari pada 4 Desember 2003 dan dicairkan pada 8 Desember 2003.
Menurut pengakuan Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak, setelah tujuh cek senilai Rp31,5 miliar itu dicairkan, langsung diserahkan ke DPR. Pencairan tersebut merupakan realisasi hasil keputusan rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003.
Dewan Gubernur BI saat itu adalah Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI), Anwar Nasution (deputi gubernur senior), dan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman H Somantri, Bun Bunan EJ Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Setelah setahun menerima surat temuan BPK tersebut, KPK baru mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan (SPDP) pada September 2007. Diikuti pemeriksaan sejumlah pejabat dan mantan pejabat BI yang diduga mengetahui aliran dana tersebut.

Hasil audit BPK itu menunjukkan secara nyata bahwa telah terjadi gratifikasi dalam kasus aliran dana BI. Karena, sudah ditemukan pihak pemberi dan tujuan atau motivasi pemberian itu kepada para anggota DPR yang sedang melakukan revisi UU BI.
Menurut Ihsanudin Noorsy, saat berbicara dalam forum “Pertaruhan Kredibilitas Bank Indonesia” dengan dilakukannya audit forensik maka akuntabilitas aliran dana dapat diketahui secara jelas.

“Duduk permasalahannya juga jadi proporsional, tidak jadi fitnah dan tidak ada tudingan ini dipakai untuk kepentingan pribadi dan sebagainya,” katanya. Belum meratanya pihak-pihak yang ditahan KPK kini juga menjadi tanya, ke mana bola
hendak digelindingkan KPK? Tersangka dari DPR baru Anthony Z. Abidin dan Hamka Yandhu. Sedang dari pihak Bank Indonesia, sudah ditahan Burhanudin Abdullah, Mantan Gubernur BI; Oey Hong Tiong, Mantan Direktur Hukum; dan Rusli Simanjuntak, Kepala Biro Komunikasi.Lebih ajaib, keputusan mengalirkan dana ternyata adalah sebuah keputusan kolektif Gubernur BI. Bahkan Anwar Nasution, saat itu, menjabat sebagai deputi gubernur senior. Sehingga kasus ini bagai “berendamnya bareng, tetapi ada saja yang bermandikan air seakan tidak kuyup badannya”.

Sikap Komisi XI DPR yang memilih Hartadi sebagai sosok berintegritas, tentu membuat publik bertanya. Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan (Komisi XI) Awal Kusumah, Selasa (13/5) malam di Jakarta, menjelaskan, 35 anggota Komisi XI yang hadir sepakat memilih kembali Hartadi untuk memangku jabatannya dalam lima tahun ke depan.

Hartadi, lelaki kelahiran tahun 1952, sebelumnya memegang jabatan tersebut untuk periode 2003-2008. Hartadi bersama Direktur Eksekutif IMF Perry Warjiyo dicalonkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Langkah mengusulkan figur IMF ini pun mengeraskan dugaan bahwa pemerintah SBY memang mendapatkan tekanan kencang dari IMF, dalam mendudukkan figur-figur di Bank Indonesia - - termasuk sebagai strategi mengharapkan dukungan bagi pemerintahannya di periode mendatang.

Sayang sekali, bila dari kasus BI ini, publik kebanyakan hanya diberi tontonan bahwa dunia seakan panggung sandiwara. Bukan dunia riil penegakan hukum secara utuh; bahwa mereka yang bersalah secara kolektif secara keseluruhan mempertanggung jawabkan kesalahan.•

Tidak ada komentar: