KOMPAS/ALIF ICHWAN /
Pieter P Gero
Seluruh Jepang sontak bersukacita pada 6 September 2006. Para politisinya lega. Sebuah debat krusial soal amandemen UU akhirnya batal. Kawashima Kiko, perempuan biasa yang dinikahi Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito, pada 29 Juni 1990, yang menjadi perantara datangnya keceriaan bagi seluruh Jepang.
Pukul 08.27 pada 6 September itu, Putri Akishino atau populer dengan Putri Kiko melahirkan anak laki-laki. Anaknya yang ketiga, tetapi laki-laki pertama dalam lingkup Takhta Bunga Seruni Jepang setelah lebih dari empat dekade ini. Bocah laki-laki yang membuat cuaca cerah musim gugur pada Rabu pagi di Tokyo dan Jepang saat itu kian bersinar.
Harian The International Herald Tribune menulis, massa mengelu-elukan Putri Kiko yang harus menjalani operasi Cesar untuk melahirkan Pangeran Hisahito. Tidak ada yang keliru dari Putri Kiko di mata seluruh rakyat Jepang setelah lahirnya Pangeran Hisahito.
Dia langsung melejit menjadi model istri idola, ibu teladan, bahkan menjadi simbol keteguhan di Jepang. Perdebatan soal amandemen konstitusi yang memungkinkan perempuan bisa menjadi penerus Takhta Seruni terhenti. Padahal, PM Jepang saat itu, Junichiro Koizumi, bersiap dengan amandemen, sekalipun ditentang keras kelompok konservatif di istana.
”Dia riang, selalu senyum, dia sepertinya tidak pernah mengalami hal-hal menyedihkan,” ujar Jeff Kingston, Direktur Studi Asia pada Temple University di Tokyo. Kingston membandingkan Putri Kiko dengan Putri Masako, istri putra mahkota Naruhito yang sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan istana. ”Putri Kiko sangat sempurna,” tegasnya.
Teman kuliah
Wajah ceria Putri Kiko selama sepekan terakhir ini muncul di media massa di Indonesia. Ibu tiga anak—Putri Mako (lahir 23 Oktober 1991), Putri Kako (29 Desember 1994), dan Pangeran Hisahito (6 September 2006)— yang sedang menemani suaminya, Pangeran Akishino, ke Indonesia (18-24 Januari 2008). Bagian dari perayaan 50 tahun hubungan Indonesia-Jepang.
Saat acara resmi, Putri Kiko berada beberapa langkah di belakang suaminya. Namun, saat acara lebih santai, Putri Kiko terlihat lengket, penuh senyum menggandeng lengan Pangeran Akishino. Masa pacaran yang relatif lama membuat Putri Kiko paham benar kapan Akishino sebagai pangeran dan kapan sebagai suami.
Pangeran Akishino dan Putri Kiko melewati masa pacaran selama lima tahun. Keduanya bertemu saat kuliah di Universitas Gakushuin di Tokyo pada tahun 1985. Setahun kemudian, Pangeran Akishino langsung mengajak Kawashima Kiko—nama asli Putri Kiko—untuk menikah.
Mereka pun serius pacaran. Namun, selama tiga tahun, keduanya tidak mengungkapkan rencana untuk menikah kepada siapa pun. Pertunangan pun berlangsung September 1989, dan pernikahan di Istana Kekaisaran di Tokyo 29 Juni 1990.
Perkawinan ini menciptakan beberapa sejarah dalam kekaisaran. Pertama kali pasangan pangantin masih kuliah. Perkawinan melangkahi putra mahkota Pangeran Naruhito yang baru menikahi Putri Masako tahun 1993.
Pengantin perempuan, Putri Kiko, berasal dari masyarakat biasa kelas menengah sama seperti ibu mertuanya. Putri Michiko, ibu Pangeran Akishino, juga dari warga biasa saat menikah dengan Kaisar Akihito pada 10 April 1959. Tetapi, Putri Kiko datang dari keluarga terpelajar dan cukup kaya.
Putri Kiko adalah anak sulung dari Kawashima Tatsuhiko, profesor geologi pada Universitas Gakushuin. Saat kecil acap kali dipanggil Kiki oleh teman-teman dan keluarganya. Masa pra- sekolah dilaluinya di AS saat ayahnya mengambil doktor di Universitas Pennsylvania.
Sekolah dasar dan SLTA dilaluinya di Vienna, Austria, saat ayahnya menjadi kepala riset di Laxenburg, Austria. Karena itu, Putri Kiko sangat lancar berbahasa Inggris dan Jerman. Sang putri juga menyandang gelar master psikologi pada Universitas Gakushuin tahun 1995.
Semangat belajar dari ayahnya membuat Putri Kiko terus kuliah saat hamil putri pertama dan kedua. Meski demikian, dia tetap menjalani tugasnya di lingkup istana. Dia kini menjabat sebagai presiden dari Asosiasi Antituberkolosis Jepang dan wakil presiden kehormatan Palang Merah Jepang.
Putri Kiko juga dikenal dengan keahliannya dalam bahasa isyarat, bagian dari kepeduliannya pada pengidap tuna runggu. Keahlian ini selalu dipraktikkan pada kontes tahunan nasional setiap Agustus. Putri Kiko mempelajari bahasa isyarat ini sejak dia masih pelajar.
Latar belakang psikologi dan ragam lingkungan kehidupan sejak di AS, Austria, dan Jepang membuat Putri Kiko lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkup istana. Masa pacaran yang panjang juga bagian lain yang membuat Putri Kiko tidak terlalu kaget dengan kehidupan serba kaku dan protokoler di istana. Dia dengan mudah menyesuaikan keadaan.
Majalah mingguan Bunshun pernah menulis, Pangeran Akishino dan Putri Kiko menerapkan kehidupan penuh keakraban dalam rumah tangga mereka. Putri Kiko yang menyediakan sendiri minuman buat sahabat-sahabat suaminya. Dia tidak menunggu pada pelayan istana yang ada. Dia juga yang menyediakan sendiri makanan dan perlengkapan dari putri-putrinya yang sudah beranjak remaja.
Sejak tahun 1997, Pangeran Akishino dan Putri Kiko dan anak-anaknya tinggal di Istana Akasaka di Motoakasaka, kawasan Minato, Tokyo. Putri Kiko kini punya tugas membimbing dan mendidik Pangeran Hisahito yang adalah pewaris nomor tiga Takhta Seruni itu.
Seperti biasanya, Putri Kiko selalu tampak ceria, penuh senyum, dan berupaya melewatkan hidup seperti apa adanya. Seperti kata Jeff Kingston, dia selalu senyum dan sepertinya tak pernah merasakan hal-hal sedih dalam hidupnya.
Melihat penampilan sederhana penuh ceria dari Pangeran Akishino selama di Indonesia, jelas hasil dari kehadiran Putri Kiko dalam kehidupan sang pangeran. Apalagi, setelah kehadiran si kecil Hisahito.