Rabu, 16 Juli 2008

Abdul Hakim Garuda Nusantara

Abdul Hakim Garuda Nusantara sudah menjadi aktivis sejak dini. Ia telah mengenal kegiatan ini sejak SMA, dengan terjun dalam kegiatan Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Pekalongan, kota kelahirannya. Berasal dari keluarga pedagang batik yang taat beragama, ayahnya anggota Muhammadiyah yang menaruh perhatian pada masalah sosial. “Dari kecil kita dididik dengan nilai keagamaan secara keras,” tuturnya. Sejak belia Hakim sudah akrab dengan informasi politik dan pemerintahan, karena ayahnya berlangganan lima sampai tujuh surat kabar.

Hakim kecil punya tekad besar belajar sampai ke jenjang tinggi. Padahal anak dari keluarga besar ini harus menjalaninya dengan prihatin. Saat sekolah dasar, karena uang saku pas-pasan, ia harus berjalan kaki sejauh delapan kilometer pulang-pergi. Lulus SMA, Hakim sempat setahun menganggur. Akhirnya, 1978, dengan dukungan ayahbundanya, anak ketujuh dari 14 bersaudara itu masuk Fakultas Hukum UI. “Pertimbangannya sederhana saja, karena bisa cepat selesai dan ilmunya mudah untuk mencari kerjaan,” kata Abdul Hakim. Masih di tingkat empat, ia sudah terjun sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Divisi Hak Asasi Manusia.

Setelah menggondol gelar sarjana hukum, 1978, Hakim mengambil spesialisasi hukum perdata internasional di University of Washington, AS. Pulang ke Tanah Air, ia kembali ke LBH, dan bertahan di sana sampai ia menjabat Direktur LBH Jakarta. “Pekerjaan di LBH itu menantang sekali dan membuat kita pintar, karena memaksa kita melakukan penelitian, membaca buku, bertemu banyak orang,” ujarnya.

Hampir 20 tahun lebih ia berkarir di bidang advokasi dan hak asasi manusia. Selain menjadi ketua YLBHI, ia dua periode menjabat Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Mantan ketua pengarah Internasional NGO Forum on Indonesia Development ini pernah pula menjadi dosen luar biasa bidang hukum ekonomi di Fakultas Ekonomi UI. “Kemudian berhenti karena kita tidak punya waktu dengan banyaknya kegiatan,” paparnya. Sebagai pengacara, kasus-kasus besar pernah ia tangani, termasuk kasus Tanjungpriok, 1985, dan Peristiwa 27 Juli 1996.

Pendiri dan Ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini semula agak keberatan ketika pada 2001 dicalonkan sebagai anggota Komnas HAM oleh PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia dan LSM. “Saya jelaskan bahwa saya sekarang jadi advokat dan tidak punya waktu,” katanya. Setelah ia diyakinkan bahwa kegiatan di Komnas itu tidak full time ia pun menyediakan dirinya. Pada pemilihan Ketua Komnas HAM, September 2002, Abdul Hakim terpilih sebagai ketua periode 2002-2006, menggantikan Djoko Soegianto. Ia meraih 12 suara dari 23 anggota Komnas HAM. “Ini merupakan tantangan sekaligus amanat. Jadi saya berusaha akan menjalankan tugas dengan baik,” janjinya.

Hakim melihat Indonesia sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum baik tentang HAM maupun peraturan perundangan lain yang cukup. Hanya yang menjadi masalah adalah bagaimana mengimplementasikan perangkat hukum dan peraturan perundangan tersebut. Karena itu, pada masa transisi ini, menurut Hakim, kemajuan di tataran normatif ini tidak diikuti dengan kesediaaan semua pihak siap untuk melaksanakannya.

Hakim menikah dengan Isjana Karna Kinasih—adik kandung mantan direktur LBH Nursjahbani Katjasungkana—pada 1984. Tujuh tahun belum dikaruniai anak, pasangan ini ikut program inseminasi, tapi gagal. Ikut program bayi tabung, juga tidak berhasil. Kemudian tiga bulan lamanya mereka menggunakan jamu tradisional Jawa. “Dengan kehendak Yang di Atas, tidak lama setelah saya mengikuti program ini, istri saya hamil,” tutur ayah tiga anak itu.

“Saya mengedepankan pentingnya pendidikan, kebersihan, tertib, omong jujur, dan jangan mengambil milik orang lain,” katanya tentang caranya mendidik anak. Sebagai seorang ayah, Hakim juga mementingkan komunikasi dengan anak-anaknya. Termasuk, berperan sebagai kamus berjalan bagi anak-anaknya yang memang suka bertanya. Dan setiap pagi, ia menyempatkan untuk bertemu dengan mereka sebelum ketiganya berangkat ke sekolah.

Tahun 2002 ia menargetkan menyelesaikan penulisan satu buku tentang berbagai permasalahan hukum di masa transisi. “Saya harus berjuang keras mewujudkan usaha itu,” kata pengagum Yap Thiam Hien dan Mohammad Hatta ini. Keseimbangan dan menjalani hidup dengan wajar dan seimbang adalah moto hidupnya. Hakim hobi nonton film. “Terutama film yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan,” katanya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/152919
http://www.facebook.com/note.php?note_id=419124889340&ref=notif&notif_t=note_tag

"Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua Barat menyatakan mantan anggota KOMNAS HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, menjadi pengacara PT. Freeport Indonesia adalah bentuk penghianatan terhadap perjuangan HAM dan demokrasi di Papua sehingga harus disikapi. Abdul Hakim Garuda Nusantara ditunjuk oleh PT. Freeport sebagai pengcara dan telah melakukan pembelaan terhadap Freeport terkait gugatan warga pemilik hak ulayat beberapa waktu silam di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pernyataan keterlibatan eks KOMNAS HAM ini, disampaikan oleh Titus Natkime beberapa waktu silam."