Sabtu, 01 Maret 2008

Joko Widodo dan Misi Mengorangkan Wong Cilik


KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images
Joko Widodo
Sabtu, 1 Maret 2008 | 00:58 WIB

Sonya Hellen Sinombor

Pedagang kaki lima bukan momok, itulah pegangan Wali Kota Solo Joko Widodo ketika menata 5.817 pedagang kaki lima atau PKL di kota itu. Bagi Jokowi, sapaannya, PKL adalah potensi yang tak perlu disingkirkan.

Maka, jika di kota-kota lain PKL dikejar-kejar dan menjadi obyek penggusuran Satuan Polisi Pamong Praja, di Solo sebaliknya. Sebelum direlokasi, para pedagang diajak berdialog. Jokowi dan Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo tak hanya satu-dua kali berdialog, tetapi sampai puluhan kali bertemu para PKL.

Di kawasan Monumen 45 Banjarsari, misalnya, perlu proses dialog panjang, hingga 54 kali pertemuan, sebelum para pedagang klithikan (barang bekas) ini bersedia direlokasi.

Kata Jokowi, tugas pemerintah memberi ruang kepada pedagang kecil untuk maju, bukan menggusur mereka. ”Pemimpin yang baik adalah yang mengikuti keinginan orang yang dipimpinnya,” katanya.

Latar belakang sebagai pengusaha membuat cara pandang dia terhadap pedagang berbeda. Ketika menjadi wali kota, salah satu obsesinya adalah mengangkat status PKL menjadi saudagar.

Walau awalnya rencana relokasi sempat mendapat penolakan keras dari para PKL, dia tak mundur. Selama enam bulan Jokowi dan Hadi Rudyatmo mengajak pedagang berdialog. ”Kalau mau cepat dan gampang, bisa saja. Dengan otoritas kami, tinggal turunkan buldoser, gusur, selesai. Dalam tiga hari itu bisa rampung.”

Namun, dia memilih pendekatan lewat dialog. ”Pendekatan orang Jawa,” ia mengistilahkan.

Untuk mengetahui langsung problem pada masyarakat, Jokowi, Rudy, dan para kepala dinas setiap Jumat pagi (dua minggu sekali) bersepeda berkeliling kampung (mider-praja).

Ia lalu bercerita tentang proses pemindahan PKL dari Monumen Banjarsari ke kawasan Semanggi. ”Saya ajak pedagang makan siang atau makan malam. Mereka yang bersuara vokal kami datangi. Keinginan mereka seperti apa, kami dengarkan,” ujar pria yang dilantik sebagai Wali Kota Solo pada 28 Juli 2005 ini.

Tempat dialog mulai dari warung kecil (wedangan), pinggir jalan, lokasi PKL Banjarsari, hingga di Loji Gandrung (rumah dinas wali kota). Ketika komunikasi sudah terjalin, konsep penataan PKL disusun Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dan disosialisasikan kepada pedagang. Proses berlanjut dengan perencanaan pembangunan, pelaksanaan, baru relokasi.

”Kalau di daerah lain, pasar dibangun setelah terbakar dulu, terus dibuat kios dan dijual. Pedagang kecil harus mengangsur sampai Rp 1 juta, ya enggak kuat,” kata Jokowi yang belakangan ini kerap diundang ke berbagai daerah sebagai pembicara relokasi PKL.

Model pendekatan dialogis dan komunikatif yang mengusung misi nguwongke wong cilik (memberi martabat pada orang kecil) membuahkan hasil. Pada Juli 2006 sebanyak 989 pedagang yang berusaha di Monumen 45 Banjarsari sejak 1998 mau pindah ke Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi, tanpa paksaan.

Kebijakan penataan

Ia juga menerapkan kebijakan penataan PKL di sejumlah kawasan lain. Dia membangun kios semipermanen dalam satu lokasi, tendanisasi, hingga gerobakisasi. Kerja keras Pemkot Solo tak sia-sia, kini sejumlah area di kota itu bebas PKL, seperti Stadion Manahan dan Jalan Slamet Riyadi. Bahkan, di Jalan Slamet Riyadi, pedagang makanan diberi gerobak seragam untuk mendukung city walk (kawasan khusus pejalan kaki).

Jokowi juga menata pedagang pasar tradisional. Hasilnya, pendapatan asli daerah (PAD) dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar. ”Dari segi ekonomi, masyarakat tetap diuntungkan. Silakan cek, harga bayam di pasar tradisional itu jauh lebih murah dibandingkan dengan di supermarket.”

Agar pasar tradisional unggul, selain menata fisik bangunan, dia juga berusaha mengubah pola pelayanan dan perilaku pedagang. ”Kesan pasar kotor dan jorok harus diubah jadi bersih dan higienis,” ucap Jokowi yang membangun rumah susun sewa untuk menggantikan kawasan kumuh.

Belum genap setahun menjadi wali kota, ia ingin membuat city walk di Jalan Slamet Riyadi. Awalnya program ini sempat ditertawakan banyak orang karena dianggap mengadopsi budaya luar. Faktanya, akhir 2007 sebagian city walk mulai dioperasikan.

Untuk mempertahankan budaya Jawa, dia usulkan penggunaan aksara Jawa untuk papan nama kantor pemerintahan, sekolah, dan pusat perbelanjaan. Pada HUT Ke-263 Kota Solo, 17 Februari 2008, Jokowi meresmikan penggunaan aksara Jawa itu.

”Dulu saya sering ke luar negeri, ke Rusia, Korea, dan China. Negara mereka sangat modern, tetapi tradisinya tetap kuat. Tulisan memakai bahasa mereka. Lho, kita di sini malah pakai bahasa Inggris.”

Program itu, lanjutnya, sejalan dengan konsep pembangunan ”Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu” yang diterapkan Pemkot Solo. ”Saya ingin membantu mengubah Solo menjadi kota yang berkarakter,” ujarnya.

Dalam bidang pendidikan, ia antara lain membangun Taman Cerdas bagi anak-anak tak mampu untuk mengakses perpustakaan dan komputer.

Menyangkut fasilitas pelayanan Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin) yang tak mencakup semua warga, ia meluncurkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS) pada Januari 2008. Jadilah, setiap warga Solo di luar pemegang Askeskin, Askes, dan asuransi kesehatan lain bisa mendapat kartu PKMS yang memberi pelayanan kesehatan seperti Askeskin dengan biaya dari APBD.

Eksportir mebel

Jokowi adalah eksportir mebel sekaligus kader PDI-P meski tak aktif. Awalnya ia tak tertarik terjun langsung ke dunia politik. Namun, sekitar tujuh bulan menjelang pemilihan kepala daerah, teman-temannya mendorong dia ikut pemilihan.

”Saya pikir boleh juga sebab Solo punya potensi yang belum tergarap, mulai dari budayanya, kulinernya, hingga perajinnya. Semua itu seharusnya bisa menambah pendapatan daerah,” ucap ayah yang merasa kehilangan banyak waktu pribadi setelah menjadi wali kota, seperti jogging dan mengantar-jemput anak sekolah.

Maka, tak heran kalau saat pertama memimpin apel di balaikota ia membuat ”lelucon”. Waktu penghormatan, tangannya terlalu lama di atas, padahal semua pegawai menunggu dia menurunkan tangan.

”Setelah kejadian itu, kalau upacara, saya minta digeladi resik dulu. Maklum, 30 tahun saya enggak pernah ikut upacara ha-ha-ha.”

Semua yang dia lalui tak berarti tanpa masalah. Pada tahun kedua kepemimpinannya, slogan ”Berseri Tanpa Korupsi” yang dia kampanyekan diuji. Salah seorang kepala dinas ditahan polisi dan dipenjara karena dugaan korupsi proyek wisata kuliner. Penahanan pascapertikaian dengan Kejaksaan Negeri Solo itu sempat menghiasi media massa.

Program membuat pasar malam di kawasan Pura Mangkunegaran belum terwujud. Dia juga belum berhasil menyelesaikan pertikaian dua raja di Keraton Surakarta.

8 komentar:

Anonim mengatakan...

hey.....salut buat pak joko wi...
aku pengen jadi penggantinya kelak...hehehee

Anonim mengatakan...

Mantap!!!! pertahankan pak joko!!!

Anonim mengatakan...

Pak Joko Wi...seorang figur pemimpin yang layak untuk memimpin negeri ini

Miss.Alieva mengatakan...

ko ga bs posting d fb sih.. salut ma pak jokowi..

ariiik mengatakan...

nyalon jadi presiden aja pak,,kami butuh pemimpin seperti bapak,,salut buat bapak JokoWi,,

Anonim mengatakan...

Andai saja indonesia dipimpim oleh seorang pemimpin seperti Bapak Joko Widodo,pasti indonesia sekarang menjadi negara maju...

nano trianto mengatakan...

siap mendukung beliau jadi capres...
walaupun sebelumnya aku golput...

Pabrik Sepatu Cibaduyut mengatakan...

Jika anda berjalan-jalan ke Kota Bandung jangan lupa beli sepatu Cibaduyut.